Sabtu, 05 April 2008

DUA KEPALA KERBAU DAN JEJAK BUGIS DI MUSEUM ACEH



Oleh : Mustika Andriyani


BANGUNAN EMPAT lantai itu bak rumah hantu. Ketika masuk ke dalam, saya nyaris tak mendengar tanda-tanda kehidupan. Sepi! Di ruangan lantai satu saya tak menjumpai satu orangpun. Hanya foto raja dan ulee balang yang menggantung di dinding yang menemani saya. Mata pada wajah-wajah itu seakan tengah menatap dan mengikuti gerak-gerik saya mengamati aneka benda-benda tua yang dipajang dalam ruangan ini.

Di sisi kiri ruangan, saya malah melihat sosok kerbau berkepala dua! Bulu kulitnya kecoklatan. Dua pasang mata di kepala kerbau itu menatap saya. Satu-satunya yang mengurangi ketakutan saya adalah kerbau berkepala dua itu dibungkus dalam kotak kaca.

Menurut keterangan yang tertulis di bawah kaki kerbau, kerbau ini adalah ofset anak kerbau yang lahir di Ulee Kareng tahun 1953. Ofset ini dibuat oleh pemilik terakhirnya Suntiram, warga Kedah, Banda Aceh. Pada tanggal 3 Juli 1994 ofset tersebut menjadi koleksi museum.

Selain foto dan patung kerbau, dalam ruang ini terdapat sketsa museum, manuskrip melayu, mata uang kuno, makam, lempeng emas, batu nisan makam-makam raja dan bangsawan, Al quran, foto-foto masjid pada zaman dulu. Ada juga kulit kerang yang telah menjadi fosil, prasasti Neusu Aceh, bermacam bebatuan, dan aneka jenis tengkorak manusia.

Saya naik ke lantai dua. Di sini terdapat peralatan pertanian hingga peralatan berburu. Kemudian saya naik ke lantai berikutnya. Di lantai terdapat foto-foto pahlawan Aceh di antaranya Teungku Panglima Polem Sri Muda Peurkasa Muhammad Daud, Pocut Meurah Biheue, Teuku Umar, Teungku Syeh Saman Di Tiro. Foto Dr. C. Snouck Hurgronje dan Mayor Jenderal JHR Kohler juga dipajang di lanta ini.

Di lantai tiga saya juga mengamati senjata-senjata tradisional, seperti siwah, rencong, keris, dan pedang. Stempel kerajaaan Cap Sikureung, baju raja yang terbuat dari bahan sutera, dan perisai ada di sini.

Sedangkan pada lantai empat terdapat contoh pakaian-pakaian Aceh, perhiasan-perhiasan Aceh zaman dahulu seperti gelang kaki, cincin tiga mata, kalung, kancing baju, bros, tali pinggang, dan mahkota. Ada juga kupiah meukeutop, pelaminan, guji, piring-piring, keurandam atau tempat kapur sirih, cerana atau tempat sirih, talam, panrago yang digunakan untuk memecah pinang, dan ceureupa atau tempat tembakau.

Akhirnya saya menjumpai dua orang karyawan museum. Namun karena museum sepi pengunjung, mereka hanya membaca majalah dan menonton telivisi yang terdapat di ruang tersebut.

“Selama ini pengunjung museum sangat sedikit. Kalaupun ada kunjungan itu pun karena ada rombongan sekolah yang berkunjung ke museum,” kata Zuhra, salah satu pegawai museum kepada saya.

Masa ‘ramai’ museum, kata Zuhra, juga terjadi saat musim haji.

“Karena pengantar jemaah haji yang datang dari berbagai penjuru daerah ke Banda Aceh mengisi waktu dengan mengunjungi museum.”

SEBAGIAN BENDA-BENDA bersejarah di museum ini juga berada di pekarangan museum. Seperti komplek permakaman raja-raja Dinasti Bugis. Permakaman ini disahkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata lewat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh.

Makam-makam yang dibangun dari batu-batu itu berukuran besar. Peninggalan ini menjadi jejak sejarah bahwa Aceh adalah wilayah yang majemuk. Termasuk dalam kesultanan. Paling tidak ini ditunjukkan bahwa Aceh pernah diperintah oleh bangsawan Bugis.

Selain makam, tak jauh dari gerbang masuk terdapat Lonceng Cakra Donya. Lonceng ini merupakan hadiah dari Laksamana asal Cina Ceng Ho kepada sultan Aceh. Menurut beberapa keterangan Cakra Donya adalah lonceng mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409. Lonceng ini memiliki tinggi 125 centimeter dengan diameter 75 centimeter. Pada bagian luar lonceng ada hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab.

Di kompleks museum juga terdapat beberapa gedung yang digunakan sesuai keperluan, perpustakaan, ruang pameran, auditorium, laboratorium, gudang, dan rumah kepala museum.

Museum ini didirikan pada tanggal 31 Juli 1915 di zaman kolonial Belanda. Saat itu namanya Atjeh Museum. Museum ini dipimpin oleh F.W. Stammeshous. Peresmian pembukaannya ketika itu dilakukan oleh Gubernur Sipil dan Militer Jenderal H.N.A. Swart.

Pada awal berdirinya museum berbentuk rumoh Aceh. Sampai sekarang bagian dari museum ada juga yang masih berbentuk rumoh Aceh. Namun ada juga bangunan yang berbentuk seperti gedung biasa tetapi arsitekturnya masih menyerupai rumoh Aceh.

“Rumah ini modifikasi bangunan rumah tradisional Aceh yang berasal dari Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial (De Koloniale Testootelling) di Semarang yang digelar antara 13 Agustus – 15 November 1914,” ungkap Muhklis, pegawai museum.

Di samping memamerkan berbagai macam koleksi pribadi F.W. Stammeshous sang kurator Atjeh Museum, Mukhlis menjelaskan, paviliun Aceh saat itu juga memamerkan aneka ragam benda pusaka para pembesar Aceh sehingga paviliun ini tampil sebagai paviliun yang paling lengkap koleksinya dan memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik.

Atas keberhasilan tersebut F.W. Stammeshous mengusulkan kepada Gubernur Aceh H.N.A Swart agar paviliun itu dibawa kembali ke Aceh untuk dijadikan Atjeh Museum yang kemudian diresmikan 31 Juli 1915 di Banda Aceh.

Setelah Indonesia merdeka, operasionalisasi Museum Aceh secara bergantian diselenggarakan oleh pemerintah daerah Banda Aceh sampai tahun 1969. Kemudian dikelola oleh Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda (BAPERIS) sampai tahun 1975, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun 1975, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun 2002. Kini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, operasionalisasi Museum Aceh menjadi kewenangan pemerintah provinsi Aceh.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 10 tahun 2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Aceh menjadi UPTD Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di lingkungan Dinas Kebudayaan. Hingga 2003 lalu, museum ini mengelola 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis, dan 12.445 buku dari berbagai judul.

Benda-benda sejarah yang menjadi koleksi di sini diperoleh dari temuan masyarakat dan dari masyarakat Belanda. Benda-benda sejarah tersebut terdiri dari sepuluh jenis berdasarkan tahun 1992 hingga 2006. Antara lain jenis geologika, biologika, etnografika, arkeologi, historika, numismatika, filologika, keramologika, seni rupa, dan teknologika.

“Benda yang di pajang ada yang asli dan yang duplikatnya, Misalnya benda yang asli bisa berupa pedang, rencong, siwah, meriam, keramik, guci, naskah, dan perhiasan, sedangkan yang duplikatnya berupa makam-makam. Sebagian benda itu merupakan kepunyaan pahlawan Aceh,” kata Zuhra.

Pelayanan
Layanan Bimbingan
Museum memberikan pemanduan keliling Museum bagi pengunjung, ceramah, bimbingan karya tulis, meseum masuk sekolah, dan informasi Museum lainnya.

Layanan Referensi
Museum memberikan bantuan, petunjuk atau bimbingan untuk menemukan bahan pusaka atau informasi budaya lainnya.

Layanan Penelitian
Museum menyediakan bahan-bahan penelitian, baik mengenai benda-benda koleksi, referensi, informasi, maupun bahan-bahan ilmiah lainnya.

Layanan Perpustakaan
Museum meminjamkan buku atau bahan-bahan bacaan kepada pengunjung untuk dibaca di ruang baca perpustakaan dan tidak dapat dibawa keluar ruangan. Buku atau bahan-bahan bacaan bila diperlukan dapat digandakan melalui jasa petugas.

Layanan khusus
Layanan khusus rombongan, magang, Praktek kerja lapangan (PKL), atau keperluan resmi lainnya, dapat diatur melalui perjanjian/pemberitahuan resmi

INFORMASI UMUM

1. Sarana Transportasi
- Bandara Sultan Iskandar Muda (16 Km)
- Pelabuhan Laut Ulee Lheue (6 Km)
- Pelabuhan Laut Malahayati (31 Km)
- Terminal Antar Provinsi Seutuy (2 km)
- Terminal Antar Kab/Kota Peuniti (400 m)
- Terminal Angkutan Kota (600 m)

2. Jam Kunjungan
- Selasa - Kamis : 08.30 - 13.00
- Jumat : 08.30 – 11.00
- Sabtu : 08.30 – 12.30
- Minggu : 08.30 – 13.30
- Sore buka : 14.30 – 18.00

3. Karcis Masuk
Perorangan
Dewasa : Rp 750
Anak-anak/pelajar : Rp 250
Rombongan*
Dewasa : Rp 250
Anak-anak : Rp 100
*(Kelompok pengunjung dengan pemberitahuan resmi)

4. Pengunjung wajib menitipkan barang bawaannya (selain alat tulis) pada petugas

5. Fasilitas Museum untuk pengunjung
- Tempat wudhu dan kamar mandi
- Tempat shalat berupa Bale(surau)
- Tempat Parkir yang cukup luas
- Ruang Pertemuan berkapasitas 250 orang (dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan perjanjian/pemesanan resmi)

6. Ongkos yang dikeluarkan untuk sampai ke museum
- Dari Bandara Sultan Iskandar Muda Rp 70,000,- (taksi)
- Dari Pelabuhan Laut Ulee Lheue Rp 7,000,- (angkutan kota/labi-labi)
- Dari Pelabuhan Laut Malahayati Rp 7,000,- (angkutan kota/labi-labi)
- Dari terminal antar Provinsi Seutuy Rp 4,000,- (angkutan kota/labi-labi)
- Dari terminal antar Kab/Kota Peuniti Rp 4,000,- (angkutan kota/labi-labi)
- Dari Angkutan Kota Rp 4,000,- (angkutan kota/labi-labi)

Komunikasi Museum lainnya dapat dilakukan via telepon (0651) 23144, 23352, dan surat ke jl. S.A. Mahmudsyah 12. Banda Aceh.