Sabtu, 02 Mei 2009

Bank Tidak Bisa Merasakan Manisnya Kue Keukarah


Oleh : Boy Muliawan

Siang itu Zubaidah (38 tahun) bersama Arjuani (13 tahun) anak yang diangkat dari saudara pihak suami Zubaidah tampak sibuk di depan rumah biru mereka di jalan Lamdarian desa Lamgeu-Ue kecamatan Peukan Bada. Keduanya tampak tergesa-gesa hendak mengantarkan barang dagangan, ditangan Arjuani sudah terjinjing plastik berwarna hitam dan sepeda motor yang terparkir di depan rumah pun sudah siap mengantar mereka ke tempat penitipan kue yang berada di daerah Lampisang.


Rutinitas ini telah dilakoninya semenjak tiga tahun silam, tepatnya tiga bulan pasca musibah tsunami memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sikap Zubaidah yang tidak mau berpangku tangan terhadap bantuan yang diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik dari lokal maupun asing, membuat ia harus bangkit dari keterpurukan ekonomi. Bersama dengan Suaminya tercinta Sayuddin (60 tahun), ia mulai merintis usaha membuat kue tradisional Aceh Keukarah ini.


Hasilnya sangat lumayan untuk mengepulkan asap dapur dan membiayai sekolah anak-anaknya, dan Alhamdullillah sekarang anaknya yang pertama Mursidi (24 tahun) sudah menjadi Guru Honorer di SD Tanjong, anak yang kedua Mauliyati (20 tahun) kuliah di Analis semester empat, anak ke tiga Nurhidayati (15 tahun) sekolah di Sekolah Menengah Umum (SMU) Peukan Bada kelas satu dan anak angkatnya Arjuani mengenyam pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Lho’nga kelas satu, sambil membantu suami yang hanya berkerja sebagai buruh furniture.


Di ruang tamu rumah tipe 36 bantuan dari lembaga donor inilah ia melakukan kegiatan membuat kue keukarah dengan berbagai macam bentuknya. Ada tiga macam bentuk yang ia buat, dari kue keukarah lipat dua, keukarah lipat empat dan keukarah gulung.


Zubaidah membuat kue ini tidak sendirian, ia di bantu oleh kedua putrinya Mauliyati dan Nurhidayati. Keahlian Zubaidah dalam membuat kue ini diperolehnya dari majiknya, yang kini juga sudah dimiliki oleh kedua putrinya, mereka pun sangat lihai dalam membuat kue-kue keukarah, biasanya mereka selalu membatu ibunya sehabis pulang sekolah.


Membuat kue keukarah ini perlu kesabaran yang tinggi. Ini dikarenakan dalam satu wajan hanya bisa satu kue keukarah yang dibuat, jadi bisa dibayangkan bagaimana letihnya tangan dengan rutinitas yang setiap hari mereka lakukan untuk membuat kue sebanyak 600 sampai 700 potong kue dari 10 kg tepung beras.

Lalu Zubaidah pun menunjukkan cara pembuatan kue keukarah kepada saya.Terlebih dahulu minyak goreng yang akan kita gunakan harus digoreng dengan bawang merah supaya bau tengik yang akan timbul tidak terjadi ujarnya.


Cetakan kue keukarah terbuat dari kaleng susu 387 gram yang sudah tidak digunakan lagi lalu dibawah kaleng tersebut di lubangi kira-kira sebanyak lima belas sampai dua puluh lubang, dan di atas kaleng susu dibuat dua lubang untuk gagang yang terbuat dari bambu, panjangnya sekitar 30 cm, sendoknya pun terbuat dari gagang bambu semuanya ada dua buah. Dipilih dari bambu supaya panasnya uap minyak goreng tidak begitu cepat menghatarkan panas ke gagang dan sendoknya.


Adonan tepung yang sudah diaduk dengan gula, garam, vanili serta di campur dengan air dimasukkan kedalam kaleng susu (sebagai cetakan) kemudian ditiriskan ke dalam minyak panas sambil diputar-putar. Untuk menghilangkan pegal dan letih ibu Zubaidah menggunakan tali yang dikaitkan di atas plafon rumah yang tali tersebut langsung di atas wajan yang kemudian menjadi penopang untuk cetakan sehingga memudahkannya dalam membentuk kue keukarah.


Kue-kue keukarah dibentuk langsung di dalam minyak goreng, kalau ingin membuat kue keukarah bentuk gulung adonan yang di perlukan tidak terlalu banyak adonan yang di tiriskan kedalam minyak goreng. Ini sangat berbeda dengan kue keukarah bentuk lipat dua dan lipat empat, ini perlukan adonan yang lebih banyak. Di dalam membuat kue keukarah ini yang perlu di perhatikan yaitu gula, karena kalau terlalu banyak gula kue keukarah ini akan menjadi lembam dan tidak garing ujarnya.


Tak sabar menunggu lebih lama lagi, saya pun mencoba kue buatan Zubaidah. Hmm… Mangattt!! Kue keukarah bentuk gulung langsung masuk ke rongga mulut saya, terasa manis dilidah, rapuh, renyah dan minyaknya tidak lengket di tenggorokan. Tidak cukup satu saya mencobanya, dari kue keukarah bentuk lipat dua dan lipat empat semuanya saya lahap dengan nikmatnya apa lagi ditemani dengan secangkir kopi manis, lengkap sudah nikmatnya.


Zubaidah menjualnya dalam beberapa kemasan, untuk lipat empat dan lipat dua dengan isi 20 potong dibandrol dengan harga Rp. 13.000,- untuk bentuk gulung pendek dengan isi 6 potong kue dibandrol dengan harga Rp. 5.000,- untuk bentuk gulung panjang dengan isi 10 potong kue dibandrol dengan harga Rp. 6.500,- tetapi itu semua sesuaikan dengan harga bahan baku yang ada di pasaran, semenjak naiknya harga kebutuhan pokok ia pun harus menaikan sedikit harga-harga kue tersebut. Kue-kue buatan Zubaidah ini tanpa bahan pengawet dan bisa bertahan selama satu bulan.


Kelezatan kue buatan Zubaidah ini juga sudah dirasakan oleh masyarakat Jakarta, berkat bantuan dari Balai Riset dan Standartdisasi Indag Banda Aceh dalam bentuk pengemasan sebanyak 200 kotak, ini dilakukan dalam rangka promosi dan ia dibayar per kotak sebesar Rp. 6.000,- isinya sebanyak 15 potong kue keukarah. Memang bantuan kotak tersebut sangat membantunya dalam pengepakan yang lebih rapi, tetapi itu pun hanya sekali saja ujarnya.


Selama menjalankan bisnisnya ini ia memperoleh keuntungan bersih setiap harinya dengan menghabiskan 10 kg tepung beras dengan menghasilakan 50 kotak kue keukarah antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 250.000,-

Tetapi kalau hari besar umat Islam pesanannya bisa menghabiskan tepung beras sebanyak 250 kg, ia pun harus mengeluarkan tenaga ekstra dan kedua anaknya pun tidak mampu untuk membuat kue pesanan dari masyarakat Aceh maupun luar Aceh sehingga mereka harus menggunakan tenaga dari luar. Tetapi itu semua terbayar dengan hasil keuntungan yang mereka peroleh. Zubaidah dalam mengembangkan bisnisnya tidak hanya lewat mulut ke mulut, kenalan, door to door tetapi dengan kecangihan dunia telekomunikasi ia juga membukan layanan kontak di nomor telepon 0852 6095 7391 untuk membantunya dalam menjalankan bisnisnya.


Karena tekadnya yang sangat besar ia memberanikan diri mengajukan pinjaman bantuan dana dari Yayasan Karya Bunda Sejahtera. Modal yang ia dapatkan masih sangat kecil, pertama ia mendapatkan bantuan sebesar Rp. 1.000.000,- dan yang kedua mendapatkan bantuan Rp. 3.000.000,- karena usahanya semakin maju ia pun mencoba kembali untuk menaikan pinjamannya sebanyak Rp. 4.000.000,- dengan pengembalian Rp. 100.000,- setiap minggunya selama satu tahun dan ini sudah memasuki bulan ketiga. Kalau dari pinjaman bank sendiri belum pernah ia dapatkan selain sangat sulit dalam pengurusan yang sangat panjang juga ia harus mempunyai angunan (barang jaminan) yang di wajibkan oleh pihak bank, kerena itu tidak bisa dipenuhi maka ia urungkan niatnya untuk meminjam dana dari pihak bank. Ia berharap ada pihak lain yang bisa membantu dalam bisnisnya, dan ia juga bercita-cita ingin mempunyai warung kue yang tidak terlalu besar tetapi bisa ia kelola dengan sendiri. Yupp...Mangattt


Sabtu, 25 April 2009

“UN Barometer Awal Kemampuan Siswa”


Telah diterbitkan Tabloid Cendikia Edisi


Kerap kali perkembangan dunia pendidikan di Indonesia menimbulkan polemik dan menjadi sorotan publik. Perubahan kurikulum yang sering terjadi, masalah Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah merupakan gambaran dunia pendidikan di Indonesia yang sangat menarik untuk di cermati. Untuk itu, dari Cendikia pada awal Maret lalu bertemu dengan Ketua Umum Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia untuk priode 2008 - 2010 Fitriadi ZA di ruang kerjanya untuk menggali seputar ujian nasional dan aktivitas pelajar di Aceh. Ini petikannya.


Bagaimana Anda melihat kesiapan dari siswa menghadapi Ujian Nasional (UN) tahun ini?

Kalau dilihat dari kalangan siswa merekalah yang sangat berperan dalam menghadapi UN ini, dan saya rasa mereka belum siap untuk itu.


Apa kendala yang dihadapi mereka?

Kalau kita lihat dari sekolah, mungkin selama ini sudah mulai dilaksanakan les, privat terhadap calon-calon peserta UN ke depan. Namun dari hasil-hasil pre test masih di bawah standar yang diharapkan. Mungkin dari sekolah atau Dinas Pendidikan sudah berusaha tapi memang dari diri siswa itu sendiri yang belum siap untuk menghadapi UN tahun ini.


Apakah dari kalangan guru sudah siap untuk menghadapi UN?

Yang menjadi patokan sekarang mayoritas guru di sekolah sudah mencukupi atau tidak? Dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh siswa itu sendiri di sekolah. Kita tidak bisa pungkiri khususnya di Aceh masih sangat minim tenaga pengajar. Ok.! Kalau di daerah-daerah perkotaan seperti Banda Aceh dan Aceh Utara bisa dikatakan sudah cukup memadai. Tapi untuk sekolah-sekolah yang ada didaerah pesisir yang masih banyak membutuhkan tenaga guru, bagaimana mereka bisa menyiapkan peserta untuk menghadapi UN sedangkan tenaga pengajar sangat kurang.


Maksud Anda, guru harus ditambah?

Ya, guru harus ditambah sekaligus skillnya juga. Jangan hanya menambah guru tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mendidik. Itu sama saja tidak bisa mencapai target yang diinginkan.


Tahun lalu, nilai UN di Aceh termasuk rendah, jadi apa yang harus dibenahi supaya tingkat kelulusan itu tinggi?

Kalau kami dari Pelajar Islam Indonesia (PII) UN itu harus dipertanyakan kembali fungsinya seperti apa? Memang tujuannya bagus. Bagi kami, tidak perlu diadakan UN. Kalau UN itu hanya sebatas untuk menilai kemampuan siswa. Karena kemampuan siswa itu tidak lahir dan dinilai selama tiga hari itu saja dengan diuji mata pelajaran tertentu misalnya matematika atau bahasa. Tidak semua manusia itu sama dan dapat menguasai semua mata pelajaran. Kita hanya melihat kepintaran seseorang dari semua mata pelajaran yang diberikan dan harus dikuasai.


Jadi apa barometer mutu pendidikan kita sudah bagus atau masih jelek?

UN itu tidak menjamin seseorang yang lulus itu adalah orang yang pintar. Pengalaman beberapa tahun lalu, ada siswa yang lulus UN tetapi dia tidak lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan ada siswa yang harus ikut paket C tetapi dia lulus SPMB.

Jadi kita sekarang menanyakan mana yang betul untuk standarisasi untuk melihat kemampuan siswa itu sendiri. Yang jelas semua program itu pasti ada kelemahannya. Penilaian siswa yang mengikuti UN dinilai dengan simulasi komputer. Sedangkan yang yang lebih tahu siswa itu adalah guru itu sendiri. Guru tahu bagaimana tingkat kecerdasan dari siswa itu sendiri. Kita tidak bisa katakan UN itu menjadi salah satu alat ukur kelulusan siswa. Seperti yang saya katakan tadi, siswa yang lulus UN tetapi dia tidak lulus (SPMB) yang tidak lulus UN dia lulus SPMB ini ….... lucu


Jadi UN itu tidak perlu ada?

Kalau sistemnya seperti ini, saya rasa tidak perlu. Lebih banyak mubazirnya.


Kalau UN tidak perlu, jadi apa penentu kelulusan siswa?

Ujian Akhir Sekolah (UAS), tetapi yang perlu lebih diperhatikan kesiapan, kesigapan dan tenaga pendidik itu sendiri dalam hal ini guru. Saya lebih condong guru lebih berperan aktif untuk menentukan kelulusan siswa karena selama 3 tahun, merekalah yang mendidik dan mengajar dan lebih mengerti tentang kemampuan murid-muridnya.


Apakah patokan nilai UN harus dinaikan setiap tahun?

Kalau dilihat patokan nilai yang setiap tahun dinaikan dan menjadi standarisasi kelulusan ini juga menjadi permasalahan. Di satu sisi fasilitas yang ada di sekolah sangat minim untuk mencapai tingkat kelulusan itu sendiri.

Ok! Untuk sekolah diperkotaan, mereka sering membuat Bimbingan Belajar (Bimbel) untuk mendukung tercapainya nilai dalam menghadapi UN tersebut. Tapi sekolah di pesisir atau sekolah-sekolah yang ada di pedesaan yang jauh dari perkotaan sangat minim. Jangan kan! belajar Internet, komputer saja mereka tidak pernah lihat, seperti apa laboratorium mereka tidak punya. Sama halnya seperti kita mengikuti mata pelajaran yang diuji dalam UN misalnya matematika. Guru untuk yang ahli untuk mata pelajaran tersebut tidak ada “jadi Bagaimana Bisa untuk Mencapai Standarisasi” kalau apa yang mereka inginkan tidak ada fasilitas pendukukungnya.


Jadi kita tidak perlu standarisasi kelulusan?

Pengalaman tahun lalu untuk mencapai nilai kelulusan yang telah ditetapkan, semua siswa mencari cara bagaimana untuk memperoleh nilai kelulusan tersebut akibatnya banyak sekolah yang kedapatan soalnya bocor, adanya permainan yang tidak sehat. Kalau ini terjadi bagaimana kita dapat melihat kemampuan siswa tersebut. UN bisa menjadi barometer awal untuk melihat kemampuan siswa dan tidak dijadikan sebagai alat ukur untuk ketentuan kelulusan atau tidak lulusnya siswa.

Yang menjadi permasalahan klasik adalah dasar standarisasi kelulusan yang diatur di tingkat pusat.

Kalau di Jakarta wajar-wajar saja. Pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan mematok standarisasi kelulusan UN seperti itu apakah ada sebuah penelitian terhadap perkembangan siswa atau tidak. Atau hanya sebatas ketentuan-ketentuan sepihak atau ada penelitian tapi hanya seputaran Pulau Jawa. Kita tahu setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda, fasilitas pendidikan yang berbeda dan tenaga guru yang berbeda sedangkan standar kelulusan di sama-ratakan.


Apakah setiap soal UN yang dibuat dari pusat sampai ke daerah itu sama?

Saya tidak pernah ikut UN karena saya lulus SMU tahun 2002, waktu itu masih tahap uji coba sedangkan UN baru dilaksanakan 2003.


Jadi yang perlu dibenahi terhadap UN?

Saya lebih bersependapat kembalikan saja sistem kelulusan itu ke sekolah masing-masing. Yang menentukan itu tim-tim guru dan Kepala Sekolah untuk menentukan layak atau tidak layak siswa tersebut diluluskan dengan pertimbangan selain kemampuan dalam menguasai pelajaran, memperhitungkan kerajinan dan etika.


Apa saran Anda agar UN ini dapat dilaksanakan dengan baik?

Ada empat hal. Pertama, Pemerintah tidak terlalu memaksakan diri untuk menerapkan standarisasi tingkat kelulusan siswa. Kedua, melihat kemampuan peserta UN itu sendiri. ketiga, fasilitas yang dimiliki oleh sekolah harus lebih ditingkatkan khususnya bagi siswa yang mengikuti UN. Keempat, kesiapan provinsi dalam menghadapi UN itu lebih tingkatkan dalam hal sosialisasi terhadap UN. Hal-hal ini yang sangat mendasar agar UN itu dapat terlaksana dengan baik serta dalam menentukan standarisasi kelulusan itu yang wajar-wajar saja.

“Lembaran Jawaban Komputer”


Telah Diterbitkan Tabloid Cendikia Edisi Tiga

Disepanjang jalan T. Syech Muda Wali banyak terdapat pondok-pondok kelapa muda yang dijajakan oleh empunya. Pondok-pondok ini dibuat seadanya, dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan triplek rata-rata ukuranya 3 x 1 M yang bisa ditempati lima sampai tujuh orang pembeli.

Tapi siang itu tampak lain dari biasanya, disepanjang jalan ini dipenuhi dengan anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) dari berbagai sekolah yang ada di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Mereka diuji kemampuannya dalam bidang pendidikan, yang diadakan oleh salah satu bimbingan belajar (BIMBEL) yang ada di Kota Banda Aceh.

Tak jauh dari tempat BIMBEL diseberang jalan tampak sekelompok anak sekolah masih mengenakan pakaian seragam sekolah lengkap, sedang asyik ngobrol sambil menikmati manisnya air kelapa muda sekedar membasahi rongga-rongga tenggorokan yang kering.

Edy! begitu sapaan yang dilontarkan oleh guru mereka. Remaja 16 tahun mencari arah suara yang menyapanya. Belakangan Tim Cendikia baru tahu remaja ini bernama lengkap Edy Agus Mulyono remaja kelahiran Banda Aceh, 10 Agustus 1993 anak pertama dari dua bersaudara pasangan Budianto dan Herawati.

Remaja penyuka buku komik One Piece, sekarang duduk di kelas satu dua di SMA 10 Fajar Harapan ini merupakan peraih nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tertinggi untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) seluruh Nanggroe Aceh Darussalam dengan total nilai 37 pada tahun ajaran 2007/2008. Nilai tertinggi di peroleh ketika ia masih mengecap pendidikan di MTs Negeri Model Banda Aceh.

Memang tidak bisa dipungkiri lagi remaja satu ini selalu mendapatkan juara umum peringkat satu semenjak duduk dikelas satu hingga kelas tiga MTs Negeri Model Banda Aceh. Ia menuturkan, ”untuk mendapat peringkat satu dalam menghadapi UAN memang tidak gampang” ujar Edy dan fokus terhadap semua mata pelajaran yang diujikan serta tidak memilih-milih mata pelajaran tertentu tambahnya.

Selain itu ia rajin mengikuti les dan Tray Out yang diadakan oleh sekolah. Ketika Tray Out pertama diadakan di sekolah ia mengambil Lembaran Jawaban Komputer (LJK) yang sudah tidak terpakai lalu ia bawa pulang. LJK tersebut ia foto copy untuk diperbanyak dan mencoba melatih diri dan mengisi kembali LJK tersebut secara berulang-ulang dirumah, kenangnya.

”Karena faktor kelulusan siswa itu bukan hanya mampu dalam menjawab soal-soal tersebut tetapi kemampuan dalam menjawab pada lembar jawaban secara sempurna dan tidak kotor” ujarnya.

Pencinta mata pelajaran Kimia dan Matematika ini, sewaktu lulus banyak mendapat undangan untuk masuk ke beberapa sekolah diantaranya SMA Modal Bangsa dan SMA 10 Fajar Harapan. Ia lebih memilih SMA 10 Fajar Harapan dikarenakan SMA ini mempunyai aura tersendiri dan lebih tertantang serta banyak teman-teman saya lebih memilih ke SMA Modal Bangsa ujar Edy.

Remaja yang sangat mengemar dengan olah raga buah bidak ini, telah banyak membuat prestasi dalam kegiatan olah raga diantaranya peringkat satu untuk KEJURDA se-Aceh, KEJURNAS peringkat 17 untuk katagori usia 12 tahun di Kalimantan Timur, perang bintang yang diadakan di sekolah catur Grand Master Utut Adiyanto dan lain-lain.

Semenjak mengecap pendidikan di sekolah SMA 10 Fajar Harapan ia pun sudah menyumbang prestasi bagi sekolah ini diantaranya peringkat satu cerdas cermat yang di adakan oleh Fakultas Kedokteran Unsyiah, peringkat satu dalam MTQ tingkat Kecamatan Baiturrahman dan peringkat empat MTQ tingkat Koata Banda Aceh.

Ia berencana setelah lulus nanti akan memilih ke Universitas yang lebih besar seperti Universitas Gajah Mada (UGM) tentunya memilih jurusan yang lebih dekat dengan mata pelajaran favoritnya yaitu Kimia dan Matematika. Semoga tercapai cita-citamu…Edy!

Sabtu, 31 Januari 2009


Calang 16 Desember 2008

Walau bencana stunami sudah berselang selama 4 tahun, tetapi jejak peninggalannya masih terlihat sangat jelas.
Pohon bakau yang dulunya sangat rimbun dan lebat juga tak luput dari hantaman gelombang stunami.

Kabupaten Calang merupakan salah satu daerah yang mengalami kerusakan paling parah akibat dari hempasan air laut yang maha hebat.
Kabupaten Calang yang dulunya bisa ditempuh dengan jarak lebih kurang 5 jam dengan asumsi jarak Banda Aceh-Calang 160 km, sekarang ini harus ditempuh dengan jarak lebih kurang 10 jam dengan kondisi jalan kerikil, berbatuan, berlubang dan berlumpur

Walau sudah banyak bantuan dari luar untuk memperbaiki dan memperluas jalan, tetapi masih banyak kendala yang dihadapi baik dari pemerintahnya, masyarakat sendiri maupun dari pihak dari donor.

Kita berharap semoga Kabupaten Calang kembali normal dan kegiatan masyarakat bisa berjalan dengan lancar.