Oleh : Boy Muliawan
Siang itu Zubaidah (38 tahun) bersama Arjuani (13 tahun) anak yang diangkat dari saudara pihak suami Zubaidah tampak sibuk di depan rumah biru mereka di jalan Lamdarian desa Lamgeu-Ue kecamatan Peukan Bada. Keduanya tampak tergesa-gesa hendak mengantarkan barang dagangan, ditangan Arjuani sudah terjinjing plastik berwarna hitam dan sepeda motor yang terparkir di depan rumah pun sudah siap mengantar mereka ke tempat penitipan kue yang berada di daerah Lampisang.
Rutinitas ini telah dilakoninya semenjak tiga tahun silam, tepatnya tiga bulan pasca musibah tsunami memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sikap Zubaidah yang tidak mau berpangku tangan terhadap bantuan yang diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik dari lokal maupun asing, membuat ia harus bangkit dari keterpurukan ekonomi. Bersama dengan Suaminya tercinta Sayuddin (60 tahun), ia mulai merintis
Hasilnya sangat lumayan untuk mengepulkan asap dapur dan membiayai sekolah anak-anaknya, dan Alhamdullillah sekarang anaknya yang pertama Mursidi (24 tahun) sudah menjadi Guru Honorer di SD Tanjong, anak yang kedua Mauliyati (20 tahun) kuliah di Analis semester empat, anak ke tiga Nurhidayati (15 tahun) sekolah di Sekolah Menengah Umum (SMU) Peukan Bada kelas satu dan anak angkatnya Arjuani mengenyam pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Lho’nga kelas satu, sambil membantu suami yang hanya berkerja sebagai buruh furniture.
Di ruang tamu rumah tipe 36 bantuan dari lembaga donor inilah ia melakukan kegiatan membuat kue keukarah dengan berbagai macam bentuknya.
Zubaidah membuat kue ini tidak sendirian, ia di bantu oleh kedua putrinya Mauliyati dan Nurhidayati. Keahlian Zubaidah dalam membuat kue ini diperolehnya dari majiknya, yang kini juga sudah dimiliki oleh kedua putrinya, mereka pun sangat lihai dalam membuat kue-kue keukarah, biasanya mereka selalu membatu ibunya sehabis pulang sekolah.
Membuat kue keukarah ini perlu kesabaran yang tinggi. Ini dikarenakan dalam satu wajan hanya bisa satu kue keukarah yang dibuat, jadi bisa dibayangkan bagaimana letihnya tangan dengan rutinitas yang setiap hari mereka lakukan untuk membuat kue sebanyak 600 sampai 700 potong kue dari 10 kg tepung beras.
Lalu Zubaidah pun menunjukkan cara pembuatan kue keukarah kepada saya.Terlebih dahulu minyak goreng yang akan kita gunakan harus digoreng dengan bawang merah supaya bau tengik yang akan timbul tidak terjadi ujarnya.
Cetakan kue keukarah terbuat dari kaleng susu 387 gram yang sudah tidak digunakan lagi lalu dibawah kaleng tersebut di lubangi kira-kira sebanyak
Adonan tepung yang sudah diaduk dengan gula, garam, vanili serta di campur dengan air dimasukkan kedalam kaleng susu (sebagai cetakan) kemudian ditiriskan ke dalam minyak panas sambil diputar-putar. Untuk menghilangkan pegal dan letih ibu Zubaidah menggunakan tali yang dikaitkan di atas plafon rumah yang tali tersebut langsung di atas wajan yang kemudian menjadi penopang untuk cetakan sehingga memudahkannya dalam membentuk kue keukarah.
Kue-kue keukarah dibentuk langsung di dalam minyak goreng, kalau ingin membuat kue keukarah bentuk gulung adonan yang di perlukan tidak terlalu banyak adonan yang di tiriskan kedalam minyak goreng. Ini sangat berbeda dengan kue keukarah bentuk lipat dua dan lipat empat, ini perlukan adonan yang lebih banyak. Di dalam membuat kue keukarah ini yang perlu di perhatikan yaitu gula, karena kalau terlalu banyak gula kue keukarah ini akan menjadi lembam dan tidak garing ujarnya.
Tak sabar menunggu lebih lama lagi, saya pun mencoba kue buatan Zubaidah. Hmm… Mangattt!! Kue keukarah bentuk gulung langsung masuk ke rongga mulut saya, terasa manis dilidah, rapuh, renyah dan minyaknya tidak lengket di tenggorokan. Tidak cukup satu saya mencobanya, dari kue keukarah bentuk lipat dua dan lipat empat semuanya saya lahap dengan nikmatnya apa lagi ditemani dengan secangkir kopi manis, lengkap sudah nikmatnya.
Zubaidah menjualnya dalam beberapa kemasan, untuk lipat empat dan lipat dua dengan isi 20 potong dibandrol dengan harga Rp. 13.000,- untuk bentuk gulung pendek dengan isi 6 potong kue dibandrol dengan harga Rp. 5.000,- untuk bentuk gulung panjang dengan isi 10 potong kue dibandrol dengan harga Rp. 6.500,- tetapi itu semua sesuaikan dengan harga bahan baku yang ada di pasaran, semenjak naiknya harga kebutuhan pokok ia pun harus menaikan sedikit harga-harga kue tersebut. Kue-kue buatan Zubaidah ini tanpa bahan pengawet dan bisa bertahan selama satu bulan.
Kelezatan kue buatan Zubaidah ini juga sudah dirasakan oleh masyarakat Jakarta, berkat bantuan dari Balai Riset dan Standartdisasi Indag Banda Aceh dalam bentuk pengemasan sebanyak 200 kotak, ini dilakukan dalam rangka promosi dan ia dibayar per kotak sebesar Rp. 6.000,- isinya sebanyak 15 potong kue keukarah. Memang bantuan kotak tersebut sangat membantunya dalam pengepakan yang lebih rapi, tetapi itu pun hanya sekali saja ujarnya.
Selama menjalankan bisnisnya ini ia memperoleh keuntungan bersih setiap harinya dengan menghabiskan 10 kg tepung beras dengan menghasilakan 50 kotak kue keukarah antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 250.000,-
Tetapi kalau hari besar umat Islam pesanannya bisa menghabiskan tepung beras sebanyak 250 kg, ia pun harus mengeluarkan tenaga ekstra dan kedua anaknya pun tidak mampu untuk membuat kue pesanan dari masyarakat Aceh maupun luar Aceh sehingga mereka harus menggunakan tenaga dari luar. Tetapi itu semua terbayar dengan hasil keuntungan yang mereka peroleh. Zubaidah dalam mengembangkan bisnisnya tidak hanya lewat mulut ke mulut, kenalan, door to door tetapi dengan kecangihan dunia telekomunikasi ia juga membukan layanan kontak di nomor telepon 0852 6095 7391 untuk membantunya dalam menjalankan bisnisnya.
Karena tekadnya yang sangat besar ia memberanikan diri mengajukan pinjaman bantuan dana dari Yayasan Karya Bunda Sejahtera. Modal yang ia dapatkan masih sangat kecil, pertama ia mendapatkan bantuan sebesar Rp. 1.000.000,- dan yang kedua mendapatkan bantuan Rp. 3.000.000,- karena usahanya semakin maju ia pun mencoba kembali untuk menaikan pinjamannya sebanyak Rp. 4.000.000,- dengan pengembalian Rp. 100.000,- setiap minggunya selama satu tahun dan ini sudah memasuki bulan ketiga. Kalau dari pinjaman bank sendiri belum pernah ia dapatkan selain sangat sulit dalam pengurusan yang sangat panjang juga ia harus mempunyai angunan (barang jaminan) yang di wajibkan oleh pihak bank, kerena itu tidak bisa dipenuhi maka ia urungkan niatnya untuk meminjam dana dari pihak bank. Ia berharap ada pihak lain yang bisa membantu dalam bisnisnya, dan ia juga bercita-cita ingin mempunyai warung kue yang tidak terlalu besar tetapi bisa ia kelola dengan sendiri. Yupp...Mangattt •