Wisata Kuliner
Oleh Boy Muliawan
KALAU Anda ingin berekreasi ke Pantai Lhoknga atau Pantai Lampu’uk tentu Anda akan menyusuri jalan Cut Nyak Dhien – Lampisang. Di sini Anda akan mendapatkan suasana yang sangat menyenangkan. Selama dalam perjalanan Anda akan disuguhkan hamparan pematang sawah yang diapit oleh dua buah bukit Gurah dan Genteeng, gugusan dari Bukit Barisan, ditambah dengan terpaan angin yang belum terkontaminasi dengan asap pabrik. Tsunami empat tahun silam masih terlihat sangat jelas meninggalkan bekasnya di setiap bukit tersebut. Sebagian warga di sekitar kawasan ini selamat dari hantaman gelombang pasang dengan adanya dua bukit ini. Tetapi sekarang bukit-bukit ini satu persatu mulai dieksploitasi sebagai dampak derasnya pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Kini di sepanjang jalan Cut Nyak Dhien Lampisang – Lhoknga, di kilometer 8 ini banyak berdiri kios dan toko kue. Ada sepuluh toko dan kios makanan yang berjajar di sepanjang jalan ini yang menjual kue kering khas Aceh. Saya berhenti di salah satu kios kecil berukuran 3 x 6 meter. Dinding dan lantainya beralaskan kayu. Di kios ini sudah terparkir sebuah mobil mewah yang empunya sedang berbelanja sambil menawar harga kue yang akan dibawa ke Bogor sebagai oleh-oleh. Pemilik kios dengan cekatan melayani semua permintaan dari pembeli.
Belakangan saya baru mengetahui nama kios ini adalah
Istana Kue Tradisional Aceh. Kios ini menjajakan
segala jenis kue khas Aceh. Dari jenis keripik sampai
kue meusekat. Kue ini hampir mirip dengan dodol, tapi
dimasak tidak menggunakan santan ditambah buah
nanas. Semua jenis kue di kios ini tersusun dan tertata
rapi yang membuat pembeli bisa melihat dengan jelas
apa yang akan diminati. Azhari Ahmad adalah empunya
istana kue ini. Ia sudah menjalankan bisnis kue ini
semenjak tiga tahun silam.
“Ada dua puluh macam jenis kue yang ada di sini,” ujar Azhari.
Dari bermacam jenis itu, yang wajib tersedia adalah dodol Aceh, meusekat, wajik, penajoh, bhoi atau bolu yang berbentuk ikan dan bunga, dan kekarah. Keenam macam kue ini pun biasanya ada pada acara adat nikah untuk di Aceh buat hantaran baik dari keluarga istri maupun suami.
Azhari membuat kue-kue ini dibantu oleh 25 orang tenaga kerja. Mereka kebanyakan adalah sanak kerabatnya. Selama ini, kue-kue itu diproduksi di rumahnya dan di rumah masing-masing sanak famili. Alasannya, Azhari belum punya modal untuk memperluas usahanya.
Kue-kue tradisional ini tidak menggunakan bahan pengawet jadi cukup aman untuk di konsumsi. Contohnya dodol Aceh. Makanan khas ini bisa tahan sampai satu bulan. Sedangakan meusekat tahan sampai dua minggu. Begitu juga bhoi, tahan sampai dua minggu. Harga kue-kue ini pun cukup terjangkau. Kue seepet, misalnya, per kilo seharga Rp 50.000. Kue ini juga tersedia dalam kemasan kotak plastik yang rapi. Kue kekarah isi 60 kue dibandrol dengan harga Rp. 30.000. Azhari juga menyediakan kue pesan untuk antaran nikah. Misalnya kue meusekat untuk satu talam besar yang sudah diberi hiasan pintu Aceh atau bunga mawar dibandrol dengan harga Rp. 180.000.
Pada hari-hari akhir pekan, kue-kue ini laris manis.
”Tapi pada hari Lebaran paling laku.
Sampai-sampai saya kalau mau
silahturahmi ke sanak famili harus pada
malam hari,” ujarnya.
Ia mengisahkan, sebelum berjualan kue ini
ia bekerja sebagai kontraktor pengadaan
untuk salah satu pabrik swasta di Aceh pada
tahun 1989 sampai 1998. Namun karena
krisis melanda di Indonesia, akhirnya ia banting stir dan beralih ke usaha wartel yang dibuka di daerah Lhoknga. Bisnis ini tidak berjalan lancar dan bangkrut setelah dihantam gelombang tsunami pada 2004.
Atas bantuan PT TELKOM, wartel miliknya pindah di daerah jalan Cut Nyak Dhien – Lampisang. Karena usaha wartelnya tidak berjalan lancar ia mencoba menjajakan kue-kue bhoi sebanyak lima bungkus di situ. Lama kelamaan karena banyaknya permintaan, sekarang mencapai 300 bungkus. Belakangan, dengan modal Rp 10 juta juta, Azhari mengubah wartelnya menjadi toko kue tradisional Aceh. Dalam tempo enam bulan modal tersebut sudah balik kembali.
”Alhamdullilah, sekarang penghasilan dalam sebulan 15 juta,” katanya, bangga.
Bisnis kuenya terus berkembang. Tak lama kemudian datang beberapa pedagang asal Medan yang menitipkan barang dagangan berupa dodol asal Medan ke toko kuenya. Beda dodol Aceh dengan Medan pada tepung yang digunakan. Dodol Medan menggunakan tepung beras, sedangkan dodol Aceh menggunakan tepung ketan. Jadi kalau dimakan, dodol Aceh lebih liat dan melar dibandingkan dengan dodol Medan.
Dodol Aceh di toko kue ini pun banyak variasinya, tidak hanya dalam bentuk panjang dan bulat. Tetapi sudah dikemas dalam kotak plastik dan diolah berbagai macam bentuk bunga. Harganya antara Rp 35.000 hingga Rp 100.000. Tergantung ukuran tempatnya.
Kue-kue ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat Aceh saja tetapi negara serumpun kita Malaysia pun sering datang secara rombongan untuk mencoba kue-kue ini bahkan negara Arab sendiri ada yang memesan lewat orang-orang Aceh yang belajar dan bekerja di sana untuk dibawakan kue-kue ini sebagai oleh-oleh.
Merasa tergoda oleh bentuk dan keanekaragaman kue ini, saya pun mencoba kue bhoi.
Mangattt!!! Lembut dan manis terasa dilidah. Gula yang digunakan adalah gula murni. Adonan tepung dan telur yang diaduk secara merata dengan tangan membuat rasa kue ini sangat berbeda dengan kue bhoi yang menggunakan mesin mixer.
Sebagai buah tangan bagi keluarga, saya pun tidak ketinggalan untuk membeli beberapa bungkus kue bhoi. Dan Anda tak perlu cemas karena semua kue ini tidak menggunakan bahan pengawet. Yupp...Mangattt..!
Oleh Boy Muliawan
KALAU Anda ingin berekreasi ke Pantai Lhoknga atau Pantai Lampu’uk tentu Anda akan menyusuri jalan Cut Nyak Dhien – Lampisang. Di sini Anda akan mendapatkan suasana yang sangat menyenangkan. Selama dalam perjalanan Anda akan disuguhkan hamparan pematang sawah yang diapit oleh dua buah bukit Gurah dan Genteeng, gugusan dari Bukit Barisan, ditambah dengan terpaan angin yang belum terkontaminasi dengan asap pabrik. Tsunami empat tahun silam masih terlihat sangat jelas meninggalkan bekasnya di setiap bukit tersebut. Sebagian warga di sekitar kawasan ini selamat dari hantaman gelombang pasang dengan adanya dua bukit ini. Tetapi sekarang bukit-bukit ini satu persatu mulai dieksploitasi sebagai dampak derasnya pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Kini di sepanjang jalan Cut Nyak Dhien Lampisang – Lhoknga, di kilometer 8 ini banyak berdiri kios dan toko kue. Ada sepuluh toko dan kios makanan yang berjajar di sepanjang jalan ini yang menjual kue kering khas Aceh. Saya berhenti di salah satu kios kecil berukuran 3 x 6 meter. Dinding dan lantainya beralaskan kayu. Di kios ini sudah terparkir sebuah mobil mewah yang empunya sedang berbelanja sambil menawar harga kue yang akan dibawa ke Bogor sebagai oleh-oleh. Pemilik kios dengan cekatan melayani semua permintaan dari pembeli.
Belakangan saya baru mengetahui nama kios ini adalah
Istana Kue Tradisional Aceh. Kios ini menjajakan
segala jenis kue khas Aceh. Dari jenis keripik sampai
kue meusekat. Kue ini hampir mirip dengan dodol, tapi
dimasak tidak menggunakan santan ditambah buah
nanas. Semua jenis kue di kios ini tersusun dan tertata
rapi yang membuat pembeli bisa melihat dengan jelas
apa yang akan diminati. Azhari Ahmad adalah empunya
istana kue ini. Ia sudah menjalankan bisnis kue ini
semenjak tiga tahun silam.
“Ada dua puluh macam jenis kue yang ada di sini,” ujar Azhari.
Dari bermacam jenis itu, yang wajib tersedia adalah dodol Aceh, meusekat, wajik, penajoh, bhoi atau bolu yang berbentuk ikan dan bunga, dan kekarah. Keenam macam kue ini pun biasanya ada pada acara adat nikah untuk di Aceh buat hantaran baik dari keluarga istri maupun suami.
Azhari membuat kue-kue ini dibantu oleh 25 orang tenaga kerja. Mereka kebanyakan adalah sanak kerabatnya. Selama ini, kue-kue itu diproduksi di rumahnya dan di rumah masing-masing sanak famili. Alasannya, Azhari belum punya modal untuk memperluas usahanya.
Kue-kue tradisional ini tidak menggunakan bahan pengawet jadi cukup aman untuk di konsumsi. Contohnya dodol Aceh. Makanan khas ini bisa tahan sampai satu bulan. Sedangakan meusekat tahan sampai dua minggu. Begitu juga bhoi, tahan sampai dua minggu. Harga kue-kue ini pun cukup terjangkau. Kue seepet, misalnya, per kilo seharga Rp 50.000. Kue ini juga tersedia dalam kemasan kotak plastik yang rapi. Kue kekarah isi 60 kue dibandrol dengan harga Rp. 30.000. Azhari juga menyediakan kue pesan untuk antaran nikah. Misalnya kue meusekat untuk satu talam besar yang sudah diberi hiasan pintu Aceh atau bunga mawar dibandrol dengan harga Rp. 180.000.
Pada hari-hari akhir pekan, kue-kue ini laris manis.
”Tapi pada hari Lebaran paling laku.
Sampai-sampai saya kalau mau
silahturahmi ke sanak famili harus pada
malam hari,” ujarnya.
Ia mengisahkan, sebelum berjualan kue ini
ia bekerja sebagai kontraktor pengadaan
untuk salah satu pabrik swasta di Aceh pada
tahun 1989 sampai 1998. Namun karena
krisis melanda di Indonesia, akhirnya ia banting stir dan beralih ke usaha wartel yang dibuka di daerah Lhoknga. Bisnis ini tidak berjalan lancar dan bangkrut setelah dihantam gelombang tsunami pada 2004.
Atas bantuan PT TELKOM, wartel miliknya pindah di daerah jalan Cut Nyak Dhien – Lampisang. Karena usaha wartelnya tidak berjalan lancar ia mencoba menjajakan kue-kue bhoi sebanyak lima bungkus di situ. Lama kelamaan karena banyaknya permintaan, sekarang mencapai 300 bungkus. Belakangan, dengan modal Rp 10 juta juta, Azhari mengubah wartelnya menjadi toko kue tradisional Aceh. Dalam tempo enam bulan modal tersebut sudah balik kembali.
”Alhamdullilah, sekarang penghasilan dalam sebulan 15 juta,” katanya, bangga.
Bisnis kuenya terus berkembang. Tak lama kemudian datang beberapa pedagang asal Medan yang menitipkan barang dagangan berupa dodol asal Medan ke toko kuenya. Beda dodol Aceh dengan Medan pada tepung yang digunakan. Dodol Medan menggunakan tepung beras, sedangkan dodol Aceh menggunakan tepung ketan. Jadi kalau dimakan, dodol Aceh lebih liat dan melar dibandingkan dengan dodol Medan.
Dodol Aceh di toko kue ini pun banyak variasinya, tidak hanya dalam bentuk panjang dan bulat. Tetapi sudah dikemas dalam kotak plastik dan diolah berbagai macam bentuk bunga. Harganya antara Rp 35.000 hingga Rp 100.000. Tergantung ukuran tempatnya.
Kue-kue ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat Aceh saja tetapi negara serumpun kita Malaysia pun sering datang secara rombongan untuk mencoba kue-kue ini bahkan negara Arab sendiri ada yang memesan lewat orang-orang Aceh yang belajar dan bekerja di sana untuk dibawakan kue-kue ini sebagai oleh-oleh.
Merasa tergoda oleh bentuk dan keanekaragaman kue ini, saya pun mencoba kue bhoi.
Mangattt!!! Lembut dan manis terasa dilidah. Gula yang digunakan adalah gula murni. Adonan tepung dan telur yang diaduk secara merata dengan tangan membuat rasa kue ini sangat berbeda dengan kue bhoi yang menggunakan mesin mixer.
Sebagai buah tangan bagi keluarga, saya pun tidak ketinggalan untuk membeli beberapa bungkus kue bhoi. Dan Anda tak perlu cemas karena semua kue ini tidak menggunakan bahan pengawet. Yupp...Mangattt..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar